LATAR BELAKANG
Sebagai negara kepulauan (juga dikenal sebagai negara maritim), Indonesia memiliki perairan yang sangat luas, dimana 75% dari luas negara Indonesia berupa perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 Km, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5.800.000 Km2. Dengan demikian jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Dengan luas perairan tersebut, menurut data Ditjen Perikanan, potensi lestari produksi perikanan Indonesia mencapai 6,7 juta ton ikan per tahun. Namun produksi perikanan secara nasional realisasinya rata-rata sebesar 45% saja, atau sekitar 3 juta ton per tahun. Rendahnya produksi ini pada akhirnya menyebabkan kontribusi sub-sektor perikanan pada perolehan devisa ekspor nasional juga menjadi relatif rendah, yaitu sekitar 7,6%. Oleh sebab itu harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya perairan Nusantara, yang berorientasi ekor untuk meningkatkan devisa negara, disamping untuk memenuhi peningkatan kebutuhan gizi masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya itu antara lain melalui pengembangan agribisnis perikanan dan membangun industri perikanan yang berdampak luas terhadap pengembangan ekonomi di daerah sekitarnya.
Upaya memanfaatkan sumber daya perikanan Nusantara secara optimal ternyata masih menghadapi berbagai kendala, seperti masalah pendanaan (permodalan); teknologi penangkapan; budidaya (teknologi dan keterampilan); teknologi pengolahan; serta penyediaan armada kapal penangkapan ikan. Masalah lain yang diidentifikasi menghambat laju pertumbuhan produksi perikanan nasional adalah, masalah perizinan yang kurang efisien; pelayanan pelabuhan dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang dianggap mengakibatkan biaya tinggi; kurang terpadunya rencana tata ruang di wilayah laut dan pantai; masalah pencurian ikan; dan sebagainya.
Keterbatasan sarana dan prasarana penangkapan, khususnya kemampuan armada penangkapan ikan (yang sebagian besar masih menggunakan perahu tanpa motor atau dengan motor-motor kecil) sehingga wilayah operasional penangkapan ikan terbatas sekitar pantai. Oleh sebab itu, di beberapa daerah banyak mengalami padat tangkap namun areal penangkapan terbatas, sedangkan di areal lepas pantai (belum termasuk ZEE) kapasitas penangkapan masih terlalu longgar, sehingga produksi perikanan menjadi rendah. Sebagai contoh adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang memiliki perairan sangat luas namun hanya memberikan kontribusi sekitar 27,5% terhadap produksi perikanan nasional, sebaliknya di Jawa dan Sumatra yang perairannya relatif kecil namun mampu memberikan kontribusi sebesar 28,5% (Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, upaya-upaya yang telah dikembangkan saat ini misalnya dengan meningkatkan agribisnis perikanan, misalnya lebih memacu peningkatan armada penangkapan ikan (armada semut) yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar (dilengkapi dengan pabrik es, cold storage, dan unit pengolahan ikan), memang telah menunjukkan hasil yang posistif, tetapi dalam beberapa tahun terakhir upaya peningkatan ini mengalami hambatan yang sangat serius sejalan dengan terjadinya krisis ekonomi yang dialami Indonesia, dimana harga-harga barang yang terkait langsung dengan Investasi meningkat sampai 3 kali lipat dari harga sebelum krisis ekonomi.
Biaya investasi armada kapal dengan ukuran kapal motor 7 GT (syarat minimal untuk operasional di areal lepas pantai hingga 100 mil) dengan kasko dari kayu dan mesin dalam (marine engine), saat ini memerlukan dana sekitar Rp 96 juta per unit, apalagi untuk investasi armada kapal yang cukup ideal dengan ukuran kapal motor 10 GT (juga kasko kayu) yang vestasinya mencapai Rp 125 juta lebih per unit. Kedua jenis kapal ini jelas sangat sulit jika dikembangkan dengan dana kredit program, misalnya skim KKPA sebesar maksimum Rp 50 juta per anggota Koperasi.
Namun demikian, peluang untuk mengembangkan agribisnis perikanan masih tetap terbuka, yaitu melalui upaya pengembangan budidaya perikanan. Budidaya perikanan yang telah berkembang selama ini, adalah budidaya tambak udang dan bandeng. Sedangkan budidaya perikanan darat, misalnya ikan mas, mujair, gurame, nila, dan ikan kolam air tawar lainnya, serta melaui media karamba (baik di danau dan sungai).
Khusus untuk budidaya perikanan laut memang belum begitu populer, mengingat teknologi ini baru diperkenalkan pada awal tahun 1990-an. Di beberapa daerah, usaha pengembangan budidaya perikanan laut (terutama dengan karamba jaring apung) misalnya ikan kerapu yang berorientasi ekspor telah berkembang dengan baik, antara lain di Aceh, Sumatera Utara, Simatera Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
Pengembangan budidaya ikan kerapu (Groupe/Trout) dengan karamba jaring apung (Kajapung) menjadi alternatif untuk mengatasi kendala peningkatan produksi perikanan laut. Yang paling penting dengan pengembangan usaha ini adalah, bahwa harga jual produksi dari tahun ke tahun semakin baik dan sangat prospektif. Selain itu dengan teknologi budidaya karamba ini, produksi ikan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup, dimana untuk pasaran ekspor ikan hidup nilainya lebih mahal hingga mencapai 10 kali lipat dari pada ekspor ikan fresh.
Berbeda dengan produksi ikan laut dengan sistem tangkapan lainnya, dimana tujuan mendapatkan hasil ikan dalam keadaan hidup dan tidak cacat/rusak, sangat sulit dicapai. Disamping itu produksinya sangat rendah karena untuk ikan jenis tertentu khususnya ikan-ikan dasar seperti ikan kerapu, ikan kakap, dan ikan dasar lainnya yang memiliki pasar potensial, penangkapan-nya harus menggunakan kail (baik hand line, long line atau rawai) sehingga produksinya menjadi terbatas, karena harus dikail satu per satu. Tidak seperti ikan permukaan misalnya kembung, cakalang, komu, sejenis sardin, dan sebagainya yang hidupnya bergerombol, sehingga mudah ditangkap dengan jaring dalam jumlah besar.
Namun untuk ikan-ikan kerapu, meskipun jumlah yang ditangkap di alam hasilnya sangat terbatas, tetapi karena harga jual ikan rapu (ukuran tertentu) sangat tinggi, maka hasil produksi yang sedikit itu tetap menguintungkan. Sedangkan ikan-ikan kerapu yang ukurannya kecil (belum memenuhi syarat) dapat dibudidayakan di karamba, yang beberapa bulan kemudian dapat dijual dalam keadaan hidup dengan harga mahal.
Ditinjau dari sisi pemasaran, peluang pengembangan usaha agribisnis perikanan masih sangat terbuka, oleh karena laju pertumbuhan produksi perikanan dunia yang masih didominasi oleh perikanan laut dan telah menunjukkan trend yang baik, terutama dengan semakin meningkatnya konsumsi dunia sejalan dengan bertambahnya penduduk dunia serta peningkatan pendapatan. Sementara itu produksi perikanan dari negara-negara maju mengalami penurunan, sehingga kian membuka peluang bagi kelompok negara-negara berkembang terutama Indonesia untuk meningkatkan produksi.
Pertimbangan lain adalah, bahwa usaha karamba jaring apung ini dapat dikembangkan hampir di sebagian besar wilayah pantai di tanah air, asalkan memenuhi persyaratan teknis seperti keadaan gelombang dan angin yang tidak terlalu keras, bebas polusi, serta aspek teknis lainnya. Dan yang terakhir, usaha budidaya ikan kerapu relatif lebih mudah dari pada nudidaya udang tambak, sehingga dari segi kemampuan dan keterampilan SDM pada umumnya tidak menjadi masalah, apalagi di beberapa daerah para nelayan telah berinisiatif merintis usaha semacam ini secara tradisional, yaitu pembesaran ikan kerapu dengan karamba jaring apung yang bibitnya berupa ikan tangkapan.
Namun demikian ada satu syarat yang harus dipenuhi agar usaha karamba jaring apung (selanjutnya disingkat menjadi Kajapung) dapat berkembang dengan baik, yaitu harus tersedia bibit ikan secara kontinyu. Untuk pengadaan bibit ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu bibit dengan ukuran antara 0,2 s/d 0,5 Kg yang berasal dari alam, atau hasil pembibitan secara modern ini memerlukan teknologi yang memadai dan biaya investasinya juga cukup mahal (sebab harus tersedia pompa penyedot, yang mampu menyedot air laut dari sumber minimal 500 m dari pantai, kemudian harus tersedia kolam pemeliharaan induk, kolam pemijahan, kolam pendederan, dan sarana lainnya), maka diperlukan adanya mitra usaha (perusahaan inti) yang juga berperan dan bertanggung jawab sebagai penyuplai bibit ikan, atau membeli dari suatu Balai Penelitian yang mampu menyediakan bibit tersebut.
Oleh sebab itu, upaya pengembangan budidaya ikan kerapu dengan karamba jaring apung sangat relevan dikembangkan dengan pola kemitraan (PKT), seperti halnya pengembangan PKT Tambak udang, dimana perusahaan inti bertanggung jawab dalam hal pengadaan bibit, obat-obatan, pakan, pembinaan/penyuluhan, disamping bertanggung jawab dalam pemasaran hasil produksi plasma.
Pengembangan PKT penangkapan dan budidaya ikan kerapu dengan kajapung ini dapat dikembangkan dengan beberapa variasi. Pertama, perusahaan inti sebagai penyuplai bibit dari hatchery; kedua, perusahaan inti sebagai penyuplai bibit yang selanjutnya dibesarkan di kolam laboratorium dan selanjutnya disuplai kepada para nelayan peserta proyek, kajapung (setelah mencapai ukuran siap dibudidayakan); dan kedua, nelayan menangkap ikan kerapu yang telah besar dari alam untuk dipelihara dalam waktu pendek sebelum dipasok kepada perusahaan inti.
Meskipun di beberapa daerah usaha ini telah mulai dikembangkan termasuk di Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara, namun sifat usahanya masih individual, sehingga upaya pengembangan budidaya ikan kerapu dengan kajapung secara massal dengan pola kemitraan, yang dapat ditunjang oleh kalangan perbankan memerlukan adanya suatu acuan yang diharapkan menjadi model untuk dapat dikembangkan di tanah air. Oleh karenanya perlu disusun Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) yang membahas cukup komprehensif, yaitu mulai dari aspek produksi, penaganan hasil pasca panen, pemasaran, organisasi kemitraan, aspek finansial, pembinaan dan penyuluhan, faktor-faktor penghambat dan pemecahannya, serta model kerjasama Inti-Plasma.
Seiring dengan penerbitan MK-PKT ini diharapkan pula adanya upaya-upaya yang ditempuh untuk membantu Usaha Kecil (UK) dalam bidangbudidaya ikan kerapu dengan kajapung agar mereka mampu memanfaatkan peluang dan sekaligus untuk memecahkan masalah yang dihadapi (kelemahan dalam sistem) dilaksanakan melalui pengembangan kebijakan di sektor-sektor pemerintah, moneter dan di sektor riil.
Kebijakan di sektor pemerintah yang erat kaitannya dengan tujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan usaha kecil budidaya ikan kerapu dengan kajapung adalah mengacu kepada sejauh mana Departemen Pertanian khususnya Direktorat Perikanan dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan proyek ini.
Kebijakan pemerintah di sektor moneter yang erat kaitannya dengan upaya-upaya pengembangan usaha kecil, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan usaha kecil kerapu dengan karamba jaring apung adalah kebijakan berkesinambungan perkreditan yang sesuai dan cocok dengan kebutuhan masyarakat usaha kecil.
Faktor keunggulan bisnis budidaya ikan kerapu dengan karamba jaring apung yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh para Usaha Kecil/Nelayan, dapat diukur dari produktivitas tenaga kerja dan lahan yang merupakan modal utama dari para nelayan kecil. Melaui pelaksanaan Pola Kemitraan Terpadu (PKT), Kesinambungan pasokan input produksi dapat meningkatkan intensitas produksi dan menurunkan tingkat kegagalan panen serta meningkatkan efisiensi pemakaian input. Dengan demikian skala usaha dan produktivitas ikan kerapu dengan kajapung dapat ditingkatkan pula. Peningkatan skala usaha juga cenderung dapat menekan biaya.
Melalui pendekatan kelompok, beberapa biaya produksi dapat ditanggung secara bersama-sama. Di samping itu Model ini juga dapat menjamin keter-sediaan dan pengamanan kredit yang disalurkan kepada usaha kecil, karena bank merasa adanya kepastian terhadap pengembalian kredit dan pembayaran bunganya.
Dengan keunggulan-keunggulan seperti di atas, maka bisnis usaha kecil budidaya ikan kerapu dengan kajapung yang dilaksanakan dengan Model ini, akan memiliki potensi yang sangat besar untuk direplikasi di setiap daerah yang memiliki lahan atau situasi yang cocok untuk pelaksanaan budidaya ikan kerapu dengan kajapung
0 komentar:
Posting Komentar